Jakarta,Topnewssumatera- Miryam S Haryani menjalani sidang dengan agenda dikonfrontir dengan tiga orang penyidik KPK yaitu Novel Baswedan, Irwan Santoso dan Ambarita Damanik terkait kasus dugaan korupsi penerapan KTP elektronik dengan terdakwa Irman dan Sugiharto.
Tersangka kasus korupsi e-KTP, Miryam S Haryani hingga Kamis (13/4) sore tidak kunjung datang ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Miryam sedianya akan diperiksa sebagai tersangka. Lantaran tidak memberi keterangan yang patut atau kesaksian palsu, pihak KPK mengungkapkan, kemungkinan dilakukan penjemputan paksa terhadap Politikus Partai Hanura tersebut.
"Jika tidak datang dengan alasan yang patut, maka akan dipertimbangkan pemanggilan kembali sekaligus dengan perintah membawa paksa," tegas Febri Diansyah, Juru bicara KPK.
Ketidakhadiran Miryam dalam pemeriksaan lanjut Febri juga sudah resmi diberitahukan oleh kuasa hukum melalui surat.
"Tadi ada kedatangan kuasa hukumnya Miryam S. Haryani menyampaikan surat. Nanti akan kami cek suratnya ,"ujar Febri.
Namun, Febri masih belum mengetahui alasan Miryam tidak hadir pada pemeriksaan sebagai tersangka pemberian keterangan yang tidak benar terkait perkara korupsi pengadaan e-KTP. Bila sudah dipelajari suratnya, KPK baru akan mengambil langkah selanjutnya.
"Kalau memang alasan itu tidak patut secara KUHAP, kemungkinan akan memanggil kembali sekaligus membawa surat perintah pada petugas untuk membawa yang bersangkutan. Itu yang kita pertimbangkan," tutupnya.
Penuntasan kasus terhadap tersangka Miryam memang sedikit diprioritaskan oleh KPK. Alasannya, selain karena persidangan dengan terdakwa Irman dan Sugiharto tengah berlangsung, juga lantaran sedang dilakukan pemeriksaan terhadap tersangka Andy Agustinus alias Andy Narogong.
Miryam dianggap sebagai saksi kunci karena ketika diperiksa oleh penyidik, ia mengakui adanya bagi-bagi duit melalui dirinya. Namun belakangan dia membantah semua kesaksiannya. Ia justru mengklaim dipaksa oleh penyidik.
Miryam dijerat dengan Pasal 22 juncto Pasal 35 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Bagi-bagi Uang
Sementara itu dalam persidangan lanjutan kasus dugaan korupsi KTP elektronik Staff pusat Teknologi Informasi dan Penerapan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Arief Sartono mengaku pernah dibagi-bagikan uang oleh terdakwa e-KTP, Sugiharto. Dia mengaku pernah menerima uang Rp 150 ribu hingga Rp 300 ribu dari Sugiharto.
Arief, selaku tim teknis pengadaan E-KTP, menyebut uang yang diterima sebagai pengganti transportasi. "Selama menjadi tim teknis menerima sejumlah uang sebagai operasional dan narasumber. Kalau transportasi setiap kali datang Rp 150 ribu sampai Rp 300 ribu," tutur Arief.
Menurut dia, uang itu tak diterima secara langsung dari terdakwa Sugiharto. Melainkan melalui Sekretariat Direktorat Jenderal Pendudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri.
Saiful Akbar, saksi lain yang dihadirkan mengaku sempat diberikan uang dari terdakwa Sugiharto. Saiful merupakan Dosen dari Institut Teknologi Bandung (ITB).
"Betul. Persisnya tidak ingat. Yang saya ingat di beberapa kali rapat dipanggil administrasi untuk dapat honor. Untuk jumlah saya lupa. Tetapi sepertinya Rp 3 juta hingga Rp 4 juta," kata dia. Selain itu, dia mengaku pernah menerima uang Rp 5 juta dari Sugiharto melalui Ketua tim teknis pengadaan e-KTP Husni Fahmi.
Pergi ke AS
Salah satu anggota tim teknis yang dibentuk Kementerian Dalam Negeri untuk proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik ( e-KTP), Tri Sampurno, mengaku pernah diberangkatkan ke Amerika Serikat pada 2012. Tri yang merupakan perekayasa muda di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) juga mengaku diberi uang senilai 20.000 dolar AS.
"Awalnya, saya mendapat kabar bahwa Kemendagri meminta satu orang dari BPPT untuk bersama Husni Fahmi menghadiri undangan Biometric Consortium Conference," ujar Tri kepada jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat sidang.
Menurut Tri, awalnya undangan diberikan kepada Menteri Dalam Negeri. Namun, karena kesibukan, undangan tersebut didisposisikan kepada Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil.
Selanjutnya, Dirjen Dukcapil menugaskan Ketua Tim Teknis proyek e-KTP Husni Fahmi untuk menghadiri konferensi di Florida, AS. "Saya diajak karena aktivitas saya di data center dan cukup memahami implementasi biometric di Kemendagri," kata Tri.
Awalnya, Tri menduga bahwa perjalanan ke AS tersebut sebagai perjalanan dinas dan dibiayai oleh Kemendagri. Namun, kenyataannya seluruh biaya transportasi dan akomodasi di AS dibiayai oleh Johanes Marlim dari PT Biomorf.
Tersangka kasus korupsi e-KTP, Miryam S Haryani hingga Kamis (13/4) sore tidak kunjung datang ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Miryam sedianya akan diperiksa sebagai tersangka. Lantaran tidak memberi keterangan yang patut atau kesaksian palsu, pihak KPK mengungkapkan, kemungkinan dilakukan penjemputan paksa terhadap Politikus Partai Hanura tersebut.
"Jika tidak datang dengan alasan yang patut, maka akan dipertimbangkan pemanggilan kembali sekaligus dengan perintah membawa paksa," tegas Febri Diansyah, Juru bicara KPK.
Ketidakhadiran Miryam dalam pemeriksaan lanjut Febri juga sudah resmi diberitahukan oleh kuasa hukum melalui surat.
"Tadi ada kedatangan kuasa hukumnya Miryam S. Haryani menyampaikan surat. Nanti akan kami cek suratnya ,"ujar Febri.
Namun, Febri masih belum mengetahui alasan Miryam tidak hadir pada pemeriksaan sebagai tersangka pemberian keterangan yang tidak benar terkait perkara korupsi pengadaan e-KTP. Bila sudah dipelajari suratnya, KPK baru akan mengambil langkah selanjutnya.
"Kalau memang alasan itu tidak patut secara KUHAP, kemungkinan akan memanggil kembali sekaligus membawa surat perintah pada petugas untuk membawa yang bersangkutan. Itu yang kita pertimbangkan," tutupnya.
Penuntasan kasus terhadap tersangka Miryam memang sedikit diprioritaskan oleh KPK. Alasannya, selain karena persidangan dengan terdakwa Irman dan Sugiharto tengah berlangsung, juga lantaran sedang dilakukan pemeriksaan terhadap tersangka Andy Agustinus alias Andy Narogong.
Miryam dianggap sebagai saksi kunci karena ketika diperiksa oleh penyidik, ia mengakui adanya bagi-bagi duit melalui dirinya. Namun belakangan dia membantah semua kesaksiannya. Ia justru mengklaim dipaksa oleh penyidik.
Miryam dijerat dengan Pasal 22 juncto Pasal 35 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Bagi-bagi Uang
Sementara itu dalam persidangan lanjutan kasus dugaan korupsi KTP elektronik Staff pusat Teknologi Informasi dan Penerapan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Arief Sartono mengaku pernah dibagi-bagikan uang oleh terdakwa e-KTP, Sugiharto. Dia mengaku pernah menerima uang Rp 150 ribu hingga Rp 300 ribu dari Sugiharto.
Arief, selaku tim teknis pengadaan E-KTP, menyebut uang yang diterima sebagai pengganti transportasi. "Selama menjadi tim teknis menerima sejumlah uang sebagai operasional dan narasumber. Kalau transportasi setiap kali datang Rp 150 ribu sampai Rp 300 ribu," tutur Arief.
Menurut dia, uang itu tak diterima secara langsung dari terdakwa Sugiharto. Melainkan melalui Sekretariat Direktorat Jenderal Pendudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri.
Saiful Akbar, saksi lain yang dihadirkan mengaku sempat diberikan uang dari terdakwa Sugiharto. Saiful merupakan Dosen dari Institut Teknologi Bandung (ITB).
"Betul. Persisnya tidak ingat. Yang saya ingat di beberapa kali rapat dipanggil administrasi untuk dapat honor. Untuk jumlah saya lupa. Tetapi sepertinya Rp 3 juta hingga Rp 4 juta," kata dia. Selain itu, dia mengaku pernah menerima uang Rp 5 juta dari Sugiharto melalui Ketua tim teknis pengadaan e-KTP Husni Fahmi.
Pergi ke AS
Salah satu anggota tim teknis yang dibentuk Kementerian Dalam Negeri untuk proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik ( e-KTP), Tri Sampurno, mengaku pernah diberangkatkan ke Amerika Serikat pada 2012. Tri yang merupakan perekayasa muda di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) juga mengaku diberi uang senilai 20.000 dolar AS.
"Awalnya, saya mendapat kabar bahwa Kemendagri meminta satu orang dari BPPT untuk bersama Husni Fahmi menghadiri undangan Biometric Consortium Conference," ujar Tri kepada jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat sidang.
Menurut Tri, awalnya undangan diberikan kepada Menteri Dalam Negeri. Namun, karena kesibukan, undangan tersebut didisposisikan kepada Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil.
Selanjutnya, Dirjen Dukcapil menugaskan Ketua Tim Teknis proyek e-KTP Husni Fahmi untuk menghadiri konferensi di Florida, AS. "Saya diajak karena aktivitas saya di data center dan cukup memahami implementasi biometric di Kemendagri," kata Tri.
Awalnya, Tri menduga bahwa perjalanan ke AS tersebut sebagai perjalanan dinas dan dibiayai oleh Kemendagri. Namun, kenyataannya seluruh biaya transportasi dan akomodasi di AS dibiayai oleh Johanes Marlim dari PT Biomorf.
Dalam proyek e-KTP, Johanes merupakan bagian dari konsorsium pelaksana proyek e-KTP. Dia merupakan provider produk Automated Finger Print Identification System (AFIS). Menurut Tri, uang US$ 20.000 diberikan melalui staf Johanes di Bandara Soekarno-Hatta. Setelah menerima, uang tersebut selanjutnya diserahkan kepada Husni Fahmi.
Tri mengaku hanya meminta US$ 1.500 dari jumlah US$ 20.000 yang diterima dari Johanes.
Menurut Tri, jumlah uang tersebut terlalu besar. Ia hanya meminta uang sejumlah yang biasa ia terima saat melakukan perjalanan dinas."Bulan Juni sebelumnya saya berangkat ke Inggris, saya dapat US$ 150 per hari. Jadi seminggu di AS saya minta US$ 1.500," kata Tri.(topnews/ibn.kompas.com)
0 komentar:
Posting Komentar